Sabtu, 04 Februari 2012

Iran, Narkoba dan Syi’ahnya Menyerang Indonesia

Kamis, 02/02/2012 12:36 WIB | Arsip | Cetak
Seorang mantan pengikut Syi’ah, Roisul Hukama, pernah mengatakan bahwa Revolusi seperti yang terjadi di Iran, juga tengah dipersiapkan kalangan Syi’ah di Indonesia. Salah satunya dengan menanam kader-kader Syiah di berbagai ormas dan pemerintahan. Ini merupakan konspirasi global. Apalagi, doktrin Imamah merupakan suatu kewajiban bagi paham sesat Syi’ah ini, sehingga Imamah menjadi sesuatu yang wajib dan harus diperjuangkan.
Persiapan untuk itu, nampaknya memang suatu yang bisa dirasakan, antara lain dengan banyaknya lembaga-lembaga (yayasan) Syi’ah di Indonesia, yang bisa ditemukan di banyak kota. Di Jakarta saja, yayasan Syi’ah jumlahnya bejibun, seperti: Yayasan Fatimah (Condet, Jakarta Timur), Yayasan Al-Muntazhar, Yayasan Al-Mahdi (Jakarta Utara), Yayasan Insan Cita Prakarsa, Yayasan Asshodiq (Jakarta Timur), Yayasan Azzahra (Cawang, Jakarta Timur), dan sebagainya.
Yang menarik perhatian, maraknya gerakan Syi’ah di Indonesia akhir-akhir ini, dibarengi dengan maraknya penyelundupan narkoba yang dilakoni warga negara Iran ke Indonesia.
Boleh dibilang serangan Syi’ah ke tengah-tengah jantung umat Islam bagai tak terkendali. Kasus Sampang (29 Desember 2011) boleh jadi hanyalah riak kecil yang kemungkinan akan menjadi gelombang konflik horizontal yang besar bila pergerakan paham sesat Syi’ah di Indonesia tidak bisa diredam sejak SEKARANG JUGA.
***
SECARA EKONOMI, Iran jauh lebih unggul dibandingkan dengan Indonesia, apalagi bila dibandingkan dengan Nigeria. Setidaknya, bila diukur dari pendapatan perkapita yang sering dijadikan tolok-ukur kemakmuran dan tingkat pembangunan di sebuah negara. Maksudnya, semakin besar pendapatan perkapita sebuah negara, maka negara tersebut dapat dikatakan semakin makmur.
Berdasarkan data yang ada, pendapatan per kapita Iran pada tahun 2005 mencapai US$7.594 dan di tahun 2008 meningkat menjadi US$10,600. Sementara itu, di tahun yang sama (2008) pendapatan per kapita Indonesia sekitar US$3,700 sedangkan Nigeria sekitar US$2,000 saja.
Bahkan menurut situs Iran-Indonesian Radio (IRIB World Service), dengan bangga dikemukakan bahwa Iran dengan produksi nasional bruto sebesar US$828 miliar berada di posisi ke-18 diantara negara-negara dengan ekonomi terkuat di dunia, sekaligus menunjukkan bahwa Iran kian kokoh di saat negara lain belum pulih akibat imbas krisis ekonomi 2009. Perekonomian dunia mengalami krisis sejak September 2008, yang ditandai dengan terjadinya krisis di bank-bank dan lembaga keuangan Amerika Serikat, terutama yang bergerak di sektor properti. Dari sektor ini, krisis ekonomi dengan cepat menyambar ke sektor-sektor lain.
Begitulah fakta indah tentang Iran dari sudut ekonomi, yang mengesankan betapa seolah-olah Iran itu begitu sejahtera, sehingga tidak mungkin rakyatnya jadi kurir narkoba. Tapi fakta yang kita temukan di sini terasa begitu miris. Menurut catatan aparat, sejak 2009 kurir narkoba warga negara Iran kian deras membanjiri Indonesia secara bergelombang. Bahkan menggusur dominasi kurir narkoba asal Nigeria yang selama ini merajai pasokan narkoba dari luar negeri. Nigeria adalah sebuah negara di Afrika Barat yang merdeka pada 01 Oktober 1960 dari penjajahan Inggris.
Hingga kini (2012), dominasi kurir narkoba warga negara Iran tetap terjaga, dengan berbagai modus operandi yang berhasil dipatahkan oleh aparat. Tentu kita tidak boleh lupa dengan fenomena gunung es di dalam mewaspadai setiap peristiwa kriminal. Maksudnya, boleh jadi yang tertangkap aparat jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kurir narkoba asal Iran yang berhasil lolos.
Yang membuat lebih miris, kurir narkoba warga negara Iran dibayar jauh lebih murah, tidak sampai separuh upah yang diterima kurir asal Nigeria. Rata-rata, kurir asal Nigeria dibayar US$ 5 ribu sedangkan kuris Iran ‘hanya’ US$ 2 ribu. Apalagi ada perbedaan harga yang tajam antara Iran dan Indonesia. Bahkan ketika harga narkoba di Iran turun hingga Rp 50 juta per kilogram, di Indonesia justru mengalami kenaikan fantastis hingga menyentuh angka Rp 2 milyar per kilogram.
Sepanjang 2009, modus operandi yang dilakukan kurir narkoba Iran adalah membungkus narkoba dalam kemasan makanan, menempatkan narkoba pada dinding palsu di tas dan koper, disembunyikan di sol sepatu, dililitkan ke badan (body stripping), disembunyikan melalui pakaian dalam, dan memasukkan narkoba (methamphetamine) cair ke dalam botol sampo, detergen, atau air mineral. Juga, menyembunyikan narkoba di balik kimono berbahan handuk dan di dalam kaki palsu, sebagaimana pernah terjadi pada 3-4 November 2009. Modus ini sebagian berulang di tahun-tahun berikutnya.
Sebenarnya, sejak sebelum 2009 kurir narkoba asal Iran sudah beroperasi di Indonesia. Namun intensitasnya mulai terasa di pertengahan 2009. Mungkin akibat dampak krisis ekonomi dunia yang juga menerpa Iran. Di tahun 2002 aparat menangkap penyelundup narkoba asal Iran bernama Peyman bin Azizallah alias Sorena (saat itu berusia 33 tahun). Sorena kemudian mendekam di LP Cirebon hingga 2004.
Namun pada 30 Oktober 2009, Sorena kembali ditangkap aparat Indonesia. Diperoleh barang bukti berupa sabu atau metamphetamine cair dengan jumlah bruto total 9.000 mililiter atau setara dengan 5.130 gram, yang dikirim dari Iran. Metamphetamine cair tersebut dikemas dalam 6 botol minuman bertuliskan bahasa Iran (Persia), dengan nilai taksiran mencapai lebih dari sebelas milyar rupiah. (selengkapnya bisa dibaca di http://nahimunkar.com/1674/iran-tak-sekedar-selundupkan-paham-sesat-syi%E2%80%99ah-tetapi-juga-narkoba/)
Fakta-fakta yang ditemukan di atas, melahirkan sebongkah keraguan tentang tingkat kemakmuran Iran yang digambarkan begitu baik. Kasus narkoba ini hanya salah satu aspek saja dari kasus-kasus lain seperti pelacuran yang dilakoni warga negara Iran usia dini (gadis cilik belasan tahun).
Koran Tempo edisi 12 Desember 2002 pernah melaporkan hasil investigasi wartawan BBC tentang profil pelacur cilik berusia 19 tahun (di tahun 2002, berarti kini usianya sekitar 29 tahun) yang sudah aktif melacur sejak usia 11 tahun (berarti sekitar tahun 1994). Namanya Leilah, penduduk kota Teheran ibukota Republik Syi’ah Iran. Leilah melacur untuk bertahan hidup. Namun demikian, itu bukan satu-satunya alasan para pelacur cilik turun ke jalan. Ada yang sengaja kabur dari rumah untuk membebaskan diri dari kekangan, dan memilih jadi pelacur di jalan.
Kasus-kasus seperti terjadi pada Leilah, tidak bisa banyak diungkap oleh media massa, karena pemerintahan Republik Syi’ah Iran begitu ketat mengawasi kiprah para jurnalis mancanegara.
Inikah gambaran sebuah negara yang makmur, yang “syari’ah Islam “ (?) tegak di dalamnya? Pastinya bukan. Justru kontradiktif. Republik Syi’ah Iran jauh dari gambaran sebuah negara yang Islami dan makmur. Namun mengapa mereka begitu menggebu menyalurkan beasiswa kepada pemuda-pemudi kita untuk bersekolah di Qum, Iran?
Sebagaimana diberitakan Republika online (edisi Kamis, 03 Maret 2011 16:18 WIB), ada sekitar 6000 hingga 7000 pemuda-pemudi kita yang belajar Syi’ah langsung di Iran. Angka tersebut diungkap Ali Maschan Musa (anggota Komisi VIII DPR RI). Jumlah itu jelas lebih besar dibanding dengan jumlah pemuda-pemudi Indonesia yang belajar di Mesir (sekitar 4000-5000 orang).
Apa artinya? Kemungkinan besar Republik Syi’ah Iran sedang melakukan serangan ke Indonesia secara aktif dan progresif melalui jalur pemberian beasiswa. Dalam beberapa tahun ke depan para lulusan Syi’ah itu akan kembali ke Indonesia. Tentu mereka akan terjun menjalankan misi sebagai penjaja Syi’ah di Indonesia. Mereka pastinya akan memerangi akidah umat Islam.
Saat ini saja Syi’ah sudah begitu berani mengangkangi umat Islam. Bahkan MUI yang konon di dalamnya bersemayam sejumlah ulama ahlussunnah, tidak berkutik oleh satu tokoh Syi’ah bernama Umar Shihab (abang kandung Quraish Shihab). Bahkan NU yang selama ini paling lantang mengaku-aku representasi ahlussunah, justru dipimpin oleh Said Agil Siradj (SAS) yang sejak lama sudah menjadi pembela Syi’ah. Padahal SAS konon lulusan bukan Qum. Belum lagi kiprah dan akrobatik argumen yang digelontorkan Jalaluddin Rakhmat yang bukan lulusan Qum, namun menjadi tokoh pengusung paham sesat syi’ah yang gigih sejak beberapa dekade belakangan ini.
Sebelumnya, umat Islam hanya mengenal segelintir lulusan Qum yang tampil di depan publik, seperti Ali Ridho Al-Habsy cucu dari Habib Ali Kwitang (1974), Umar Shahab (1976), kemudian dilanjutkan oleh generasi di bawahnya seperti Abdurrahman Bima, Khalid Al-Walid, Muhsin Labib, Alwi Husein, Muhammad Taqi Misbah dan sebagainya.
Dari perguruan tinggi swasta bisa disebut beberapa nama, seperti Zulfan Lindan (aktivis HMI-MPO, alumnus Universitas Jayabaya, Jakarta, yang pernah menjadi anggota DPR-RI dari PDI-P, dan kini aktif di Nasdem). Dari perguruan tinggi negeri ada Haidar Bagir (lulusan Institut Teknologi Bandung, yang pernah menjadi wartawan Harian Republika) yang kini menjabat sebagai Presiden Direktur Mizan Group, dan Dosen Pemikiran Islam di Islamic College. Dari Universitas Indonesia, ada nama-nama seperti Agus Abubakar Al-Habsyi dan Sayuti As-Syatiri.
Masih ada nama-nama lain seperti O. Hashem, Husein al-Habsyi, Riza Sihbudi, Sulaiman Marzuqi Ridwan, Dimitri Mahayana Syamsuri Ali, Ahmad Baraqbah, Hasan Daliel al-Idrus yang sudah diidentifikasi sebagai misionaris Syi’ah. Beberapa tahun ke depan umat Islam pasti kewalahan menghitung dan menyebutkan misionaris syi’ah yang boleh jadi sangat gigih menyebarkan paham sesatnya. Ini bukan sekedar penyusupan, tetapi sudah sampai pada tahap PERANG.
Bukti lain, kalangan Syi’ah sudah mengelola sejumlah pendidikan mulai tingkar dasar. Kalau dulu hanya kita kenal Pesantren YAPI (Bangil), Pesantren Al-Hadi (Pekalongan), SMA Plus Muthahhari (Bandung dan Jakarta), kini ada Islamic College for Advanced Studies (Jakarta), Sekolah Lazuardi (Jakarta) dari playgroup hingga SMP, Madrasah Nurul Iman (Sorong), Sekolah Tinggi Madina Ilmu (Depok), juga ada lembaga Pendidikan Islam Al-Jawad.
Masih pula serangan Syi’ah itu dilancarkan melalui didirikannya lembaga kebudayaan untuk menyebarkan paham sesat syi’ah. Sejak 2003 didirikan Islamic Cultural Center (ICC) yang beralamat di Jl. Buncit Raya Kav. 35 Pejaten Barat Jakarta 12510. Dari ICC inilah didirikan Iranian Corner di sejumlah perguruan tinggi Islam. Di Jakarta, Iranian Corner bisa ditemukan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Di Jogjakarta lebih banyak lagi, ada tiga Iranian Corner, yaitu di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bahkan kini Iranian Corner sudah mencapai belasan jumlahnya, yang tersebar di sejumlah perguruan tinggi.
Sejumlah nama tokoh Syi’ah yang aktif di Islamic Cultural Center (ICC), antara lain Umar Shihab, Quraish Shihab, Jalaluddin Rahmat, Haidar Bagir, O. Hashem, Agus Abu Bakar al-Habsyi dan Hasan Daliel al-Idrus. Sejumlah keturunan Arab (Habaib) juga aktif menjadi penggerak ICC.
Boleh dibilang serangan Syi’ah ke tengah-tengah jantung umat Islam bagai tak terkendali. Kasus Sampang (29 Desember 2011) boleh jadi hanyalah riak kecil yang kemungkinan akan menjadi gelombang konflik horizontal yang besar bila pergerakan paham sesat Syi’ah di Indonesia tidak bisa diredam sejak SEKARANG JUGA.
Seorang mantan pengikut Syi’ah, Roisul Hukama, bahkan pernah mengatakan bahwa Revolusi seperti yang terjadi di Iran, juga tengah dipersiapkan kalangan Syi’ah di Indonesia. Salah satunya dengan menanam kader-kader Syiah di berbagai ormas dan pemerintahan. Ini merupakan konspirasi global. Apalagi, doktrin Imamah merupakan suatu kewajiban bagi paham sesat Syi’ah ini, sehingga Imamah menjadi sesuatu yang wajib dan harus diperjuangkan.
Persiapan untuk itu, nampaknya memang suatu yang bisa dirasakan, antara lain dengan banyaknya lembaga-lembaga (yayasan) Syi’ah di Indonesia, yang bisa ditemukan di banyak kota. Di Jakarta saja, yayasan Syi’ah jumlahnya bejibun, seperti: Yayasan Fatimah (Condet, Jakarta Timur), Yayasan Al-Muntazhar, Yayasan Al-Mahdi (Jakarta Utara), Yayasan Insan Cita Prakarsa, Yayasan Asshodiq (Jakarta Timur), Yayasan Azzahra (Cawang, Jakarta Timur), dan sebagainya.
Yang menarik perhatian, maraknya gerakan Syi’ah di Indonesia akhir-akhir ini, dibarengi dengan maraknya penyelundupan narkoba yang dilakoni warga negara Iran ke Indonesia. Para kurir narkoba itu bekerja untuk bandar narkoba asal Iran yang telah lebih dulu mukim di Indonesia. Kalau gerakan Syi’ah di Indonesia ini mempunyai korelasi positif dengan maraknya penyelundupan narkoba, bisa dipastikan dampaknya akan sangat dahsyat. Yaitu, kerusakan akidah dan kerusakan moral sekaligus: sebuah kondisi sosial yang layak bagi terjadinya sebuah revolusi.
Ilustrasi LPPIMakassar dan poskota
(haji/tede/nahimunkar.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar